Senin, 08 Juni 2009

PENGARUH STIMULASI LISTRIK TERHADAP JENIS OTOT YANG BERBEDA PADA SAPI BALI1

Muh Rustam2. Effendy Abustam3

ABSTRAK

PENDAHULUAN

Daging merupakan salah satu bahan asal hewan yang paling banyak disukai oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan akan gizi. Hal ini dikarenakan daging sudah dikenal sebagai salah satu bahan makanan yang hampir sempurna, karena mengandung gizi yang lengkap dan dibutuhkan oleh tubuh, yaitu protein hewani, energi, air, mineral dan vitamin serta memiliki rasa dan aroma yang enak (Anonim, 2006).


1 Makalah disajikan pada Seminar Jurusan Program Studi Teknologi Hasil Ternak
Fakultas Pternakan Universitas Hasanuddin.
2 Penyaji Makalah
3 Pembimbing

Kualitas merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan dalam produksi daging. Kualitas daging dapat ditentukan berdasarkan parameter spesifiknya, yaitu: warna, daya ikat air, pH daging, susut masak, keempukan dan tekstur. Kualitas daging lokal yang beredar di pasaran kurang disukai, disebabkan beberapa faktor antara lain higienitas dan keempukan daging yang masih rendah. Salah satu cara untuk memperbaiki kualitas daging yaitu dengan cara pemberian stimulasi listrik.
Stimulasi listrik adalah suatu teknik dimana aliran listrik diaplikasikan pada karkas mata rantai penyembelihan agar terjadi kontraksi otot. Stimulasi listrik mempunyai dampak terhadap penurunan pH yang pada akhirnya rigormortis terbentuk lebih awal. Penurunan pH yang cepat dapat diikuti dengan percepatan pengolahan daging tanpa akibat yang diharapkan terhadap penurunan kualitas daging (Abustam, 2004).
Stimulasi listrik pada karkas dapat menyebabkan warna otot lebih merah terang, kekerasan/kekompakan otot dan solidifikasi marbling berkembang lebih cepat dibandingkan dengan nonstimulasi. Stimulasi listrik mereduksi kemungkinan insiden warna daging yang gelap dan pembentukan ikatan serabut yang kasar pada permukaan lapisan otot yang didinginkan dengan cepat (Soeparno, 2005).

PEMBAHASAN
Tinjauan Umum Daging Sapi
Indonesia mempunyai 5 jenis sapi unggul yaitu Ongol, Bali, Madura, Grati dan Kelantan. Sumbangan sapi dalam produksi daging pada tahun 1973 adalah sebanyak 123.000 ton atau 37,3%. Sebagian besar produksi daging adalah dari ternak yang lebih tua yang telah dipakai tenaganya, sehingga daging yang dihasilkan cenderung memiliki kualitas yang kurang bagus (Buckle, dkk, 1987).
Daging merupakan serabut otot yang dilekatkan bersama oleh jaringan ikat dan diselingi dengan serabut syaraf dan pembuluh darah. Berdasarkan keadaan fisik daging dapat dikelompokkan menjadi 1) daging segar yang dilayukan, 2) daging segar yang dilayukan kemudian didinginkan (daging dingin), 3) daging segar dilayukan, didinginkan kemudian dibekukan (daging beku), 4) daging masak, 5) daging asap, 6) daging olahan (Tabrany, 2001).
Sugeng (2005), laju pertumbuhan semakin cepat pada saat peyapihan hingga pubertas. Dari usia penyapihan hingga usia pubertas laju pertumbuhan masih bertahan pesat, akan tetapi diusia pubertas hingga usia jual laju pertumbuhannya mulai menurun hingga usia dewasa dengan umur 4 tahun, penimbunan lemak terjadi sesudah hewan mencapai kedewasaan tubuh, yakni sesudah pertumbuhan jaringan tulang dan otot selesai. Kemudian diikuti pertumbuhan lemak. Oleh karena itu, sapi yang dipotong pada usia muda 1,5 - 2,5 tahun persentase dagingnya lebih tinggi sebab belum banyak tertimbun lemak.
Kontribusi jaringan ikat pada kekerasan daging juga sangat penting seperti pada jaringan muskuler. Kandungan, kualitas dan penyebaran jaringan ikat dalam otot merupakan penanggungjawab utama terhadap perbedaan kekerasan antar otot. Beberapa peneliti menemukan korelasi antara daya putus dengan kandungan kolagen pada otot Longissimus dorsi dan Semitendinosus yang cukup rendah. Kandungan kolagen daging sapi bervariasi, tergantung pada jenis otot dan umur ternak, variasi ini sangat besar pada otot empuk dan ternak umur muda yang mana 48-66% dapat menjelaskan variasi keempukan daging (Abustam, 2004).
Otot merupakan jaringan yang mempunyai struktur dan fungsi utama sebagai penggerak. Ciri suatu otot mempunyai hubungan yang erat dengan fungsinya. Karena fungsinya, maka jumlah jaringan ikat berbeda-beda dintara jaringan otot. Jaringan ikat ini berhubungan dengan kealotan daging (Soeparno, 2005).
Abustam (1990) menyatakan bahwa otot Pectoralis profundus merupakan otot yang paling keras dibandingkan dengan otot Semitendinosus dan Longssimus dorsi. Hal ini disebabkan karena ketiga otot tersebut berada dalam kualitas jaringan ikatnya, dimana otot Pectoralis profundus memilki jaringan ikat yang paling banyak sehingga memberikan keempukan yang paling rendah.

Stimulasi Listrik
Stimulasi listrik ditujukan untuk mempercepat rigormortis agar kontraksi otot penyebab pemendekan otot dapat dihindari sehingga daging menjadi lebih empuk dan meningkatkan cita rasa (flavor) daging (Tetty, 2006). Lebih lanjut dikatakan oleh Soeparno (2005), bahwa pada prinsipnya, stimulasi listrik akan mempercepat proses glikolisis postmortem yang terjadi selama konversi otot menjadi daging, dan dapat mengubah karakteristik palabilitas daging. Stimulasi listrik terhadap karkas telah terbukti mempercepat habisnya ATP dan penurunan pH pada ayam; mempercepat laju glikolisis pada kelinci; mempercepat glikolisis postmortem, mencegah pemendekan otot karena temperatur dingin yang disebut cold-shortening dan meningkatkan keempukan daging pada domba; dan memperbaiki keempukan serta flavor pada daging sapi.
Stimulasi listrik memperpendek waktu pencapaian rogormortis melaui dua fase yaitu akselarasi glikolisis, yaitu fase selama stimulasi dan fase setelah stimulasi menurun. Setelah fase ini karkas yang masih hangat dapat didinginkan dengan cepat pada temperatur 10C tanpa menyebabkan pemendekan otot, kemudian karkas dapat dibekukan dengan tepat tanpa menyebabkan pemendekan otot prerigor dan kekakuan setelah pencairan kembali daging beku yang disebut thaw rigor (Lawrie, 2003).
Stimulasi menyebabkan konsumsi ATP yang dipercepat, dengan dampak penurunan pH yang pada akhirnya rigormortis terbentuk lebih awal. Resiko pengkerutan karena dingin terhindari dan dengan demikian akan diperoleh daging tanpa pemendekan pada pendinginan yang lebih awal daripada biasanya sehingga akan memperbaiki kualitas dan higienitas dari karkas dan daging (Abustam, 2004).
Umumnya dikenal dua metode stimulasi listrik, yaitu 1) voltase rendah. Stimulasi listrik dengan voltase rendah ditandai dengan tegangan yang tidak melebihi 100 volt, diaplikasikan segera setelah penyembelihan dengan lama perangsangan selama 30 detik. Aliran listrik akan merangsang sistem syaraf ternak yang masih berfungsi, memberikan perintah kontraksi dan secara paralel medan listrik yang terbentuk pada karkas akan menyebabkan kontraksi muskuler. 2) voltase tinggi. Stimulasi listrik dengan tegangan tinggi ditandai dengan tegangan yang melebihi diatas 300 volt, pada umumnya 500 – 1200 volt dan dapat diaplikasikan agak lebih lambat setelah penyembelihan ternak, 30 – 40 menit setelah pemingsanan, biasanya pada rantai eviserasi dan pembelahan karkas. Lama perangsangan yang direkomendasikan adalah 1 – 2 menit (Abustam, 2004).

Keempukan Daging
Perubahan otot menjadi daging terjadi secara biokimia dan biofisika ditandai dengan menurunnya pH melalui pembentukan asam laktat dan glikolisis secara anaerobik. Mekanisme anerobik ini terjadi karena otot-otot tidak lagi mendapatkan oksigen akibat terhentinya peredaran darah, sementara otot masih tetap hidup dengan menghabiskan cadangan energinya. Pembentukan asama laktat yang tidak cukup disebabkan karena penurunan glikogen yang hebat sebelum ternak dipotong, dapat menyebabkan daging berwarna gelap, tekstunya keras yang sering disebut ”dark cutting beef” atau DCB (Abustam, 2004).
Kualitas daging dapat dinilai berdasarkan organoleptik dimana pada penelitian organoleptik, keempukan merupakan faktor utama (kurang lebih 64%) dalam penilaian kualitas daging oleh konsumen (Abustam, 2004), selain keempukan kualitas daging berdasarkan penilaian organoleptik mencakup pula warna, cita rasa, dan juiceness (Soeparno, 2005). Selanjutnya dikatakan oleh Lawrie (2003), penampilan permukaan daging oleh konsumen tergantung pada mioglobin dan lebih mendasar pada tipe melekul mioglobin. Faktor yang mempengaruhi kualitas mioglobin adalah aktivitas urat daging yang tinggi yang menyebabkan terbentuknya mioglobin yang lebih banyak.
Lawrie (2003) menyatakan bahwa tekstur dengan mata adalah suatu fungsi ukuran dari berkas-berkas serat dimana setiap perimisium dari tenunan pengikat membagi-bagi urat daging secara longitudunal. Ukuran berkas tidak hanya ditentukan oleh jumlah serat, tetapi juga oleh ukuran serat. Ukuran kasar suatu tekstur akan meningkat bersama dengan umur. Pada umumnya sifat kasar dari tekstur akan lebih besar dibanding dengan hewan betina.
Abustam (2004), bahwa keempukan daging ditentukan oleh sifat-sifat myofibril dan jaringan ikat sebagai komponen utama pada otot. Keempukan daging bervariasi antar otot. Jumlah jaringan ikat dalam otot mempengaruhi tekstur daging. Otot yang lebih banyak bergerak selama hewan masih hidup teksturnya terlihat lebih kasar sedangkan otot yang kurang bergerak teksturnya terlihat lebih halus. Hal ini disebabkan adanya perbedaan dalam jaringan ikat yang ikut berperan dalam aktivitas otot. Otot yang teksturnya kasar, kurang empuk dibandingkan dengan otot yang teksturnya halus.
Jaringan ikat otot terdiri dari epimisium yang terdapat di sekeliling otot; perimisium terletak diantara fasikuli, dan endomisium yang terdapat disekeliling sel otot atau serabut otot. Setiap jaringan ikat terdiri dari serabut-serabut kolagen. Endomisium mengelilingi membran sel (sarkolema). Serabut-serabut kolagen endomisium sangat kecil dan sering disebut serabut retikular (Soeparno, 2005). Lebih lanjut dikatakan oleh Lawrie (2003) sifat tenunan pengikat berbeda pada tiap umur ternak. Derajat ikatan silang intra dan intramuskuler antara rantai-rantai polipeptida dalam kolagen meningkat dengan meningkatnya umur hewan. Pada hewan-hewan muda hampir semua ikatan silang (dapat direduksi , labil terhadap panas dan asam), meningkat sampai umur dua tahun, kemudian secara perlahan diganti oleh ikatan-ikatan yang stabil terhadap panas.
Ciri suatu otot mempunyai hubungan yang erat dengan fungsinya. Karena fungsinya, maka jumlah jaringan ikat berbeda-beda diantara jaringan otot. Jaringan ikat ini berhubungan dengan kealotan daging. Perbedaan keempukan berdasarkan daya putus daging dari 3 jenis otot yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai Rata-Rata Daya Putus Daging Sapi Bali (kg/cm2) berdasarkan stimulasi listrik dan jenis otot
Perlakuan
Jenis Otot
Rata-Rata
LD
ST
PP
Non Stimulasi
5,37
6,85
7,96
6,73
Stimulasi Listrik
3,75
5,29
6,22
5,09
Rata-Rata
4,56
6,07
7,09

Sumber : Musdalifah, 2005.

Berdasarkan Tabel 1, menunjukkan bahwa dengan pemberian rangsangan stimulasi listrik pada ketiga jenis otot yang berbeda memperlihatkan daya putus yang lebih rendah yaitu 5,09 kg/cm dibandingkan dengan non stimulai listrik yaitu 6,73 kg/cm. Hal ini disebabkan karena dengan pemberian stimulasi listrik dapat mempercepat terjadinya rigormortis, mempercepat habisnya ATP, dan mempercepat penurunan pH. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (2005) yang menyatakan bahwa stimulasi listrik dapat mempercepat proses gliolisis postmortem yang terjadi selama konversi otot menjadi daging, dan dapat mengubah karakteristik palatabilitas daging. Stimulasi listrik terhadap karkas telah terbukti mempercepat habisnya ATP dan penurunan pH pada ayam: mempercepat laju glikolisis pada kelinci; mempercepat glikolisis postmortem, mencegah pemendekan otot karena temperatur dingin yang disebut cold-shortening.
Jenis otot yang berbeda juga memperlihatkan tingkat keempukan yang berbeda. Hal ini dilihat dari jenis otot yang empuk berturut-turut seperti longissimus dorsi, semitendinosus dan pectoralis profundus. Adanya perbedaan keempukan disebabkan karena kadar kolagen yang berbeda. Banyaknya kolagen dari ternak disebabkan oleh umur yang tua, jaringan ikat silang yang banyak dan banyaknya pergerakan otot sewaktu ternak masih hidup. Hal ini sesuai dengan pendapat Lawrie (2003) yang menyatakan bahwa serabut kolagen merupakan komponene yang terpenting dan menentukan empuk tidaknya daging. Bila seekor ternak menjadi lebih tua, kolagennya bertambah banyak dan jaringan ikat yang bersilang lebih banyak, sehingga daging menjadi tidak empuk. Hal ini juga dikatakan oleh Winarno (1995) yang menyatakan bahwa yang mempengaruhi keempukan daging, antara lain komposisi daging yaitu berupa tenunan pengikat, serabut daging serta sel-sel lemak yang ada diantara serabut daging. Disamping itu keempukan daging dipengaruhi oleh kondisi rigormortis yang terjadi setelah ternak dipotong.
Lokasi otot juga sangat berpengaruh pada keempukan daging. Kemungkinan lain yang menyebabkan otot longissimus dorsi lebih empuk daripada semitendinosus dan pectoralis profundus karena pada otot longissimus dorsi berada pada bagian tulang belakang sehingga kemungkinan untuk melakukan aktivitas jarang, tidak sama dengan otot semitendinosus atau otot pectoralis profundus yang hampir setiap saat mengalami aktivitas karena menahan berat badannya pada waktu berdiri dan berjalan, sehingga dengan seringnya otot melakukan aktivitas dapat menyebabkan jaringan ikat pada otot menebal dan menjadi lebih keras. Penyebaran kolagen tidak sama diantara otot kerangka tubuh, umumnya disesuaikan dengan kegiatan fisik sehingga berpengaruh terhadap keempukan daging. Keempukan dan kekerasan daging tergantung pada derajat kontraksi aktin dan miosin setelah hewan mati selama rigormortis akibat terbentuknya aktimiosin (Lawrie, 2003).

Susut Masak
Susut masak merupakan indikator nilai nutrisi daging yang berhubungan dengan kadar jus daging yaitu banyaknya air yang terikat di dalam dan di antara serabut otot. Jus daging yaitu banyaknya komponen dari tekstur yang ikut menentukan keempukan daging. Pada umumnya makin tinggi suhu pemasakan, makin besar kadar cairan daging yang hilang sampai mencapai tingkat konstan (Soeparno, 2005).
Sebagian besar air dalam daging ada pada myofibril yaitu antara filamen-filamen. Perebusan daging pada suhu 640C-900C mengakibatkan jaringan epimisium dan endomisium serta akhirnya myofibril akan menyusut hingga mengakibatkan keluarnya cairan daging (Cooking loss) (Lawrie, 2003).
Susut masak menurun secara linear dengan berambhanya umur ternak. Misalnya pada sapi, susut masak longissimus dorsi yang dimasak pada temperatur 800C selama 90 menit, menurun dengan meningkatnya umur. Untuk umur 2, 9, 16, 27, 42, dan 120 bulan, susut masak masing-masing adalah 34,5; 33,3; 33,6; 32,3 dan 33,3% (Soeparno, 2005).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kehilangan lelehan (weep) dan (dry) dari daging yang dimasak juga dapat digunakan untuk kapasitas memegang air dari daging yang dimasak. Kehilangan yang disebabkan oleh pengerutan pada waktu pemasakan akan lebih besar jumlahnya. Pemasakan dengan suhu tinggi menyebabkab denaturasi protein dan banyak menurunkan kapasitas memegang air. Penurunan pH akhir urat daging akan menurunkan kehilangan (bagian utamanya), yang disebabkan oleh tereksudasinya cairan. Cepatnya penurunan pH akan meningkatkan kehilangan cairan pada waktu memasak (Lawrie, 2003).
Untuk dapat melihat hubungan antara susut masak sebagai indikator nilai nutrisi daging dalam hubungannya dengan kadar jus daging pada pengaruh stimulasi listrik dan jenis otot yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai Rata-rata Susut Masak (%) Daging Sapi Bali Berdasarkan Stimulasi Listrik dan Jenis Otot yang Berbeda.
Perlakuan
Jenis Otot
Rata-Rata
LD
ST
PP
Non Stimulasi
26,33
28,96
31,02
28,77
Stimulasi Listrik
22,60
27,00
28,48
26,03
Rata-Rata
24,47
27,98
29,75

Sumber : Musdalifah, 2005.

Berdasarkan Tabel 2 memperlihatkan bahwa pemberian rangsangan yang berbeda menunjukkan perbedaan rata-rata persentase susut masak daging sapi Bali dimana dengan pemberian stimulasi listrik pada karkas menunjukkan nilai yang rendah. Nilai rata-rata susut masak daging sapi Bali dengan non stimulasi listrik dan pemberian stimulasi listrik berturut-turut adalah 28,77% dan 26,03%. Hal ini menunjukkan bahwa dengan perlakuan stimulasi listrik dapat mempercepat proses glikolisis sehingga terjadi penurunan pH yang cepat dapat meningkatkan tekanan osmose intraselulaler yang dapat mengakomodasikan kehilangan kapasitas kehilangan air. Hal ini sesuai dengan pendapat Lawrie (2003) bahwa dengan stimulasi listrik dapat mempercepat proses glikolisis yang menyebabkan pemecahan ATP dalam jumlah yang banyak selanjutnya pencapaian pH yang relatif rendah dapat meningkatkan tekanan osmose intraselular yang cukup untuk mengakomodasi kehilangan kapasitas memegang air.
Kualitas dan kuantitas jaringan ikat pada otot berbeda-beda tergantung lokasi otot itu berada. Semakin banyak jaringan ikatnya maka kemampuan untuk menahan air semakin berkurang. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2 yaitu nilai rata-rata susut masak pada daging sapi bali berturut-turut pada otot longissimus dorsi, semitendinosus dan pectoralis profundus yaitu 24,47%, 27,98% dan 29,75%. Dengan demikian jenis otot yang berbeda sangat berpengaruh terhadap susut masak Sapi Bali. Adanya perbedaan susut masak yang dihasilkan disebabkan karena ketiga otot tersebut berada dalam kualitas dan kuantitas jaringan ikat yang berbeda dimana otot pectoralis profundus memiliki jaringan ikat yang paling banyak sehingga kemampuan untuk menahan air semakin berkurang menyebabkan besarnya nilai susut masak. Hal ini sesuai dengan pendapat Abustam (2004), bahwa otot pectoralis profundus merupakan otot yang paling keras bila dibandingkan dengan otot semitendinosus dan longissimus dorsi.
Perbedaan kandungan jaringan ikat di antara otot mengakibatkan perbedaan nilai susut masak di antara jenis otot. Otot dengan kandungan jaringan ikat yang rendah memungkinkan bagi ruang/celah-celah yang terdapat di antara filamen aktin dan miosin sebagai tempat air yang terikat oleh protein daging meningkat. Sebaliknya pada otot dengan kandungan jaringan ikat yang yang tinggi, kemampuan celah-celah di antara aktin dan miosin untuk menahan air jadi berkurang. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (2005) bahwa kebanyakan air di dalam otot terdapat pada myofibril yang ditahan oleh gaya-gaya kapiler dalam ruang-ruang di antara filamen miosin dan aktin.
Susut masak pada otot Longissimus dorsi berbeda dengan otot semitendinosus dan otot pectoralis profundus. Hal ini juga disebabkan oleh perbedaan lokasi dan tipe dari ketiga otot tersebut. Otot pectoralis profundus mengandung jaringan ikat yang lebih banyak dibandingkan dengan otot semitendinosus dan longissimus dorsi begitu pula dengan aktivitas fisiknya otot pectoralis profundus lebih banyak beraktivitas. Hal ini sesuai dengan pendapat Soeparno (2005) bahwa keempukan daging bervariasi diantara jenis otot, jumlah jaringan ikat dalam otot mempunyai tekstur daging. Otot yang lebih banyak digerakkan selama ternaknya masih hidup seperti otot pectoralis profundus maka teksturnya terlihat lebih kasar, sedangkan otot yang kurang digerakkan seperti otot semitendinosus dan longissimus dorsi maka teksturnya lebih halus.

KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
Stimulasi listrik pada karkas Sapi Bali dapat meningkatkan keempukan daging (daya putus rendah) dan mengakibatkan rendahnya nilai susut masak.
Perbedaan jenis otot mengakibatkan perbedaan keempukan daging dimana Longissimus dorsi lebih empuk daripada otot semitendinosus dan pectoralis profundus.

DAFTAR PUSTAKA
Abustam, E. 2004. Bahan Ajar Ilmu dan Teknologi Daging. Program Quev Proyek Peningkatan Menajemen Pendidikan Tinggi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar
Anonim. 2006. Cra Sehat Menyantap daging. http://groups.yahoo.com/group Halal-Baik-Enak/message/4831.m [Diakses pada Desenber 2007], Makassar.
Buckle, K.A, dkk. 1987. Food science. Peneejemah, Hari purnomo dan adiono. Ilmu pangan, Universutas Indonesia Press, Jakarta.
Lawrie, R.A. 2003. Ilmu Daging. Universitas Indonesia Press, Jakarta

Marwan, M. 2005. Pengaruh Stimulais Listrik dan Suhu Pemasakan terhadap Keempukan dan Susut Masak Otot Longissimus Dorsi Sapi Bali. Fakultas Peternamkan Universitas Hasanuddin, Makassar.
Musdalifah. 2005. Pengaruh Stimulasi Listrik Dan Jenis Otot Terhadap Keempukan dan Susut Masak Daging Sapi Bali Pada Suhu Pemasakan 800C. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.
Sarwono, B. 2005. Penggemukan Sapi Potong Secara Cepat. Penebar Swadaya, Jakarta.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Sugeng B.Y. 2005. Sapi Potong. Penebar Swadaya, Jakarta.
Tabrany, H. 2001. Pengaruh Proses Pelayuan Terhadap Keempukan Daging. http://www.google.co.id. Diakses pada Januari,2005, Makassar.
Tetty. 2006. Penggunaan Stimulasi Listrik Pada Kambing Lokal Terhadap Mutu Daging Selama Penyimpanan Suhu Kamar. http://www.google.co.id. Agro Inovasi Balitnak [diakses pada aprill, 2008., Makassar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar